KITA 'WNI', BUKAN 'WNJ' ATAU 'WNP' Aku kira, usai Pilpres kita semua bersatu lagi untuk selanjutnya bersama-sama m...
KITA 'WNI', BUKAN 'WNJ' ATAU 'WNP'
Aku kira, usai Pilpres kita semua bersatu lagi untuk selanjutnya bersama-sama menikmati dan mengritisi kinerja Pemerintah. Ternyata tidak, dan itu membuatku sedih.
Masyarakat pemilih masih happy 'dibelah' menjadi dua kelompok: "pemilih menang" dan "pemilih kalah". Padahal di dalam Pilpres kemarin mereka telah sukses karena bisa kompak (menjadi satu) untuk menunaikan salah satu proses membangun bangsa yang demokratis. Mestinya disyukuri karena aman dan tenteram, agar Tuhan memberi berkah yang lebih banyak lagi.
Memang, setiap pertandingan selalu menyisakan 'suka', 'duka' dan mungkin beberapa komplain. Di dalam sepakbola, bulutangkis bahkan pemilihan Ketua RT dan Ketum Parpol juga begitu. Kewajiban kita adalah menganggapnya sebagai hal lumrah sekaligus dewasa di dalam menyikapi. Bukan justru menabur 'dendam' ke berbagai lini. Bukan pula saling kritik antara "pemilih kalah" dan "pemilih menang".
Kulihat, setiap kali mengritisi kebijakan Pemerintah yang dirasa kurang tepat, habitat "pemilih kalah" selalu memaksa habitat "pemilih menang" untuk mengakui kesalahan dan menyesali pilihannya. Padahal 'tekanan' semacam itu sangat tidak relevan dan hampir-hampir tak ada manfaatnya, kecuali bagi beberapa makhluk yang dilumuri ambisi kekuasaan dan arogansi sosial. Sikap 'menekan' seperti itu justru membuat kelompok "pemilih menang" yang sesungguhnya siap untuk bersikap kritis-objektif terpaksa menjadi 'bertahan' bahkan mati-matian mencari pembenaran atas kebijakan Pemerintah (seburuk apapun itu). Jelas, ini merupakan situasi yang kontraproduktif. Tak berguna, bahkan hanya menambah luka sesama warga bangsa; dan melenakan rakyat dari tanggungjawab mengawal jalannya Pemerintahan.
Aku ingin melihat sahabat-sahabatku kembali seutuhnya menjadi WNI (Warga Negara Indonesia), bukan WNJ (Warga Negara Jokowi) atau WNP (Warga Negara Prabowo). Kita harus mampu membebaskan diri kita dan kanan-kiri kita dari sikap pilihan pada Pilpres kemarin dengan cara-cara terhormat, sehingga kita bisa kuat dalam himpunan untuk mengawasi dan (syukur jika bisa) menikmati kinerja Pemerintah. Kasihan masyarakat yang tak berdaya di sektor organisasi maupun informasi. Jangan sampai mereka menjadi korban karena 'arogansi' kita melalui kedigjayaan kita pada jejaring organisai maupun informasi (sosmed dan sejenisnya). Tugas kita adalah memberdayakan rakyat dalam rangka meluhurkan bangsa, bukan semata memuji atau mencaci para penguasa, apalagi bermusuhan antar-kita. Hindari saling-ledek yang mendatangkan energi negatif di sekitar kita.
Dalam lagu (Bara Timur, Gong 2000) pernah kusumpahkan, bahwa "di sini, semua ilmu menjadi budi". Saatnya membuktikan!
Sumber
Aku kira, usai Pilpres kita semua bersatu lagi untuk selanjutnya bersama-sama menikmati dan mengritisi kinerja Pemerintah. Ternyata tidak, dan itu membuatku sedih.
Masyarakat pemilih masih happy 'dibelah' menjadi dua kelompok: "pemilih menang" dan "pemilih kalah". Padahal di dalam Pilpres kemarin mereka telah sukses karena bisa kompak (menjadi satu) untuk menunaikan salah satu proses membangun bangsa yang demokratis. Mestinya disyukuri karena aman dan tenteram, agar Tuhan memberi berkah yang lebih banyak lagi.
Memang, setiap pertandingan selalu menyisakan 'suka', 'duka' dan mungkin beberapa komplain. Di dalam sepakbola, bulutangkis bahkan pemilihan Ketua RT dan Ketum Parpol juga begitu. Kewajiban kita adalah menganggapnya sebagai hal lumrah sekaligus dewasa di dalam menyikapi. Bukan justru menabur 'dendam' ke berbagai lini. Bukan pula saling kritik antara "pemilih kalah" dan "pemilih menang".
Kulihat, setiap kali mengritisi kebijakan Pemerintah yang dirasa kurang tepat, habitat "pemilih kalah" selalu memaksa habitat "pemilih menang" untuk mengakui kesalahan dan menyesali pilihannya. Padahal 'tekanan' semacam itu sangat tidak relevan dan hampir-hampir tak ada manfaatnya, kecuali bagi beberapa makhluk yang dilumuri ambisi kekuasaan dan arogansi sosial. Sikap 'menekan' seperti itu justru membuat kelompok "pemilih menang" yang sesungguhnya siap untuk bersikap kritis-objektif terpaksa menjadi 'bertahan' bahkan mati-matian mencari pembenaran atas kebijakan Pemerintah (seburuk apapun itu). Jelas, ini merupakan situasi yang kontraproduktif. Tak berguna, bahkan hanya menambah luka sesama warga bangsa; dan melenakan rakyat dari tanggungjawab mengawal jalannya Pemerintahan.
Aku ingin melihat sahabat-sahabatku kembali seutuhnya menjadi WNI (Warga Negara Indonesia), bukan WNJ (Warga Negara Jokowi) atau WNP (Warga Negara Prabowo). Kita harus mampu membebaskan diri kita dan kanan-kiri kita dari sikap pilihan pada Pilpres kemarin dengan cara-cara terhormat, sehingga kita bisa kuat dalam himpunan untuk mengawasi dan (syukur jika bisa) menikmati kinerja Pemerintah. Kasihan masyarakat yang tak berdaya di sektor organisasi maupun informasi. Jangan sampai mereka menjadi korban karena 'arogansi' kita melalui kedigjayaan kita pada jejaring organisai maupun informasi (sosmed dan sejenisnya). Tugas kita adalah memberdayakan rakyat dalam rangka meluhurkan bangsa, bukan semata memuji atau mencaci para penguasa, apalagi bermusuhan antar-kita. Hindari saling-ledek yang mendatangkan energi negatif di sekitar kita.
Dalam lagu (Bara Timur, Gong 2000) pernah kusumpahkan, bahwa "di sini, semua ilmu menjadi budi". Saatnya membuktikan!
Sumber